KARYA ILMIAH-SENI-BISNIS

menerima berbagai masukan tentang inovasi Karya Ilmiah

Laman

Rabu, 10 Maret 2010

Robohnya Pendidikan Humanis

ontent="text/html; charset=utf-8" http-equiv="Content-Type">
Robohnya Pendidikan Humanis

Sabtu, 23 Januari 2010 | 10:51 WIB

Banyak anak frustrasi dengan angka-angka ketika harus belajar dalam dunia yang disebut sekolah. Begitu menakutkannya angka-angka yang menunjukkan batas kelulusan bagi anak-anak dalam ujian nasional. Jauh hari sebelum ujian berlangsung, banyak kalangan dibuat repot dan harus memutar otak untuk mencapai angka-angka itu.
Anak-anak harus dirampas jam belajar di sekolah dengan drill soal-soal jauh hari sebelum ujian. Bahkan, frustrasi dan ketakutan sudah mereka rasakan jauh hari. Sepulang sekolah, waktu bermain mereka harus dirampas untuk mengikuti berbagai les atau uji coba yang dilakukan lembaga informal yang begitu menjamur di luar pagar sekolah.
Jangan bicara masalah nilai-nilai kehidupan! Memang hal ini bisa dihubungkan dengan perjuangan mencapai cita-cita, namun bukan lagi tentang pembelajaran nilai-nilai hidup ketika anak tidak mempunyai pilihan. Mereka melakukan dalam sebuah intimidasi masa depan dalam sebuah keterpaksaan. Pastilah hal ini bukan esensi dari sebuah pendidikan yang baik dan benar.
Sekolah pun harus dibuat pusing seribu keliling. Kepala sekolah dan juga para guru sama sekali tidak punya pilihan. Sama halnya dengan anak-anak, mereka harus melakukan semua itu dalam sebuah "todongan pistol" kebijakan. Celakanya lagi, kegagalan mencapai kelulusan 100 persen menjadi pertaruhan eksistensi sekolah.
Orangtua tidak kalah frustrasi memikirkan nasib anaknya. Sejumlah uang direlakan raib untuk membayar berbagai les atau privat demi tercapainya angka-angka itu. Sangat ironis karena anak-anak harus menjalani kerasnya "penjejalan materi" di lembaga-lembaga pendidikan luar sekolah. Celakanya, anak-anak dari keluarga tak mampu hanya bisa bermimpi saja dan meletakkan nasibnya di atas awan yang tinggi sekali itu. Pendidikan dengan target angka-angka itu telah didesain untuk anak-anak keluarga berduit yang bisa memfasilitasi pendidikan luar sekolah yang sangat mahal itu.
Pada akhirnya, pendidikan dengan orientasi angka-angka itu jatuh pada kebobrokan moral para siswa, sekolah, dan orangtua. Kasus mencontek, bocoran jawaban, rekayasa, dan berbagai kecurangan dalam ujian nasional menjadi fakta kebobrokan pendidikan berorientasi angka itu. Pusat hanya menginginkan hasilnya dan sekolah harus mencapai hasil itu dengan sukses dengan berbagai cara, termasuk cara kotor. Ketika pendidikan jatuh pada kebobrokan dan "skandal" seperti itu, kembali sekolah dijadikan kambing hitam.
Meretas pendidikan humanis
Sesungguhnya potret buruk pendidikan tidak hanya tergambar dari atmosfer ujian nasional saja. Yang tampak dari kebobrokan ujian nasional merupakan puncak dari amburadulnya pendidikan nasional kita. Dalam sebuah proses pendidikan keseharian pun, pembelajaran berorientasi angka sangat dominan. Berbagai model pembelajaran banyak berakhir dengan sebuah tes. Bahkan, banyak guru dengan perkasanya membuat soal tersulit yang pernah ada sehingga nantinya dengan gagah juga menuliskan angka-angka itu di lembar jawaban siswa tanpa meninggalkan kata-kata apa pun sebagai feedback atas jawaban siswa.
Pembelajaran tanpa adanya feedback tertulis dan cukup menuliskan angka atau skor akhir siswa adalah sebuah kekerasan intelektual. Anak-anak hanya boleh tahu hasilnya saja, sedangkan alasan di balik benar atau salahnya jawaban tidak penting. Yang terjadi, anak-anak akan membawa pulang angka itu dan ditunjukkan pada orangtuanya tanpa bisa menjelaskan mengapa mendapat hasil seperti itu. Sebagai efeknya, ada dua kemungkinan respons orangtua, yakni "anak yang baik" karena mendapat nilai bagus atau "anak bodoh" karena mendapat nilai jelek. Celakanya, ada orangtua yang tidak peduli dengan per
kembangan anaknya. Habis sudah spirit pendidikan yang merupakan sinergi sekolah dan keluarga.
Bahkan, lebih sadis lagi, ketika tugas atau pekerjaan rumah para siswa hanya menjadi rutinitas. Guru tidak mempunyai perhatian khusus untuk melihat, mengoreksi, dan memberikan feedback. Bahkan, kebanyakan guru hanya mengandalkan subyektivitas belaka. Tamat sudah proses pendidikan yang humanis untuk membantu anak didik berkembang dalam sebuah penghargaan dan harapan ke depan.
Memang harus diakui bahwa tidak mudah menjadi pendidik yang sungguh-sungguh mendampingi anak didik. Setiap malam guru harus menghabiskan waktu untuk membaca tugas, jurnal, bahkan refleksi anak-anak.
Keteladanan mesti dikedepankan dalam proses mendidik. Cara guru menghargai dan mendampingi anak didik menjadi sebuah aura dan spirit tersendiri pada anak-anak untuk semangat belajar dan mengembangkan diri. Sepertinya masih lumayan, jika yang terjadi "guru kencing berdiri, murid kencing berlari" di mana ketika guru memberi contoh yang buruk maka akan berimbas lebih buruk lagi pada murid karena murid mencontoh dari guru. Akan tetapi, bisa saja terjadi "guru kencing berdiri, murid mengencingi guru". Jika hal itu terjadi, justru itu tamparan maut bagi dunia pendidikan karena anak didik merasa muak dengan mentalitas dan kualitas pendidik dan pendidikan.
Pendidikan humanis dengan berusaha meninggalkan proses pembelajaran yang hanya menekankan masalah angka adalah sebuah kebutuhan masa kini. Angka-angka itu menjadi tanda kesewenang-wenangan dalam menghakimi proses pembelajaran anak didik. Anak-anak membutuhkan alasan atas penandaan itu karena dari alasan itulah mereka dapat belajar, yakni memperbaiki yang masih kurang dan meningkatkan yang sudah baik.
Sebuah pertanyaan besar, sudah biasakah mata para guru untuk membaca dan tangan mereka untuk menulis? Bukan membaca sekilas, mengingat wajah anaknya, lalu menuliskan skornya. Akan tetapi, membaca kata per kata dan menuliskan feedback atas semua itu. Ini tidak mudah namun harus dilakukan karena jangan sampai "anak-anak mengencingi para guru". FX ARIS WAHYU PRASETYO Pendidik di SMA Kolese Loyola Semarang

Tidak ada komentar: